[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

>>>Makalah

 

JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh : Wan Ulil Abshor*

 

Iftitah

Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam setiap jiwa manusia.

Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan ketakwaan.

 

Begitu firman Allah dalam surat Asy-syams ayat 8, yang artinya diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan . Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang tertidiri dari banyak individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan mengantarkan pada keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah lahir perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Demikian  itulah ketetapan Ilahi. Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antar keduanya bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat suatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya). Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak). (QS Al-Anbiya`: 16-18) .

 

Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat diatas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Tapi hal itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan (jihad) menghadapi musuh. Karena itu , al-jihadu madhin ila yaum al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat).

 

Istilah  Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad. Sayangnya, istilah ini sering disalah pahami atau dipersempit artinya.

 

Makna Jihad

 

Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w.395 H) dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya."

 

Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti  "letih/sukar." Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata "juhd" yang berarti "kemampuan." Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan "jahida bir-rajul" yang artinya "seseorang sedang mengalami ujian." Terlihat kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.

 

Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat dikonfirmasikan dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad. Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa jihad merupakan ujian dan cobaan. Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang besar (QS Ali 'Imran: 142).

 

Demikianlah terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan kesabaran sebagai isyarat bahwa jihad adalah sesuatau yang sulit, memerlukan kesabaran serta ketabahan. Kesulitan ujian atau cobaan yang menuntut kesabaran itu dijelaskan rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 214: Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehinga berkata Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah pertolongan Allah amat dekat.

Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar (QS Al-Baqarah : 155

 

Jihad juga mengandung arti "kemampuan" yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil, tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang di milikinya habis.

 

 Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh dan tidak dapat dipersamakan dengan aktivitas lain, sekalipun aktivitas keagamaan. Tidak satu amalan keagamaan yang tidak disertai dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama. Katakanlah, "JIka bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik" (QS Al-Taubah : 24).

 

Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau restu untuk melakukannya. Ini berbeda dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut: Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad SAW) untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa (QS Al-Taubah : 44).

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah….(QS Al-Taubah : 81).

 

 Mukmin adalah mujahid, karena jihad merupakan perwujudan identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan;   Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya) (QS Al-Ankabut : 6).

 

Maka,  jangan menduga yang meninggal di medan juang sebagai orang-orang mati, tetapi mereka hidup memperoleh rezekinya di sisi Allah SWT. (baca QS 3 : 169). Karena jihad adalah perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan adanya jihad yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak sekalipun diperintahkan oleh kedu orang-tua. Apabila keduanya (ibu-bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik…..(QS Luqman : 15).

 

Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan untuk mencapai cita-citanya. Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS Al-Ankabut : 69).

 

Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan: Berjihad di (jalan) Allah dengan jihad sebenar-benarnya.

 

Kesimpulannya,  jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan tujuan yang dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.

 

 Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi Allah. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya; karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari kesadaran. Kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan. Karena itu mujahid bersedia berkorban, dan tak mungkin menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.

 

Macam-macam Jihad

 

Seperti telah dikemukakan, terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah jihad Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat pula bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran. Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.

 

Rasulullah SAW. Bersabda, "Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu." Dalam kesempatan lain beliau bersabda, "Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan lidah kamu."

 

Pada umumnya, ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak menyebutkan objek yang harus dihadapi. Yang secara tegas dinyatakan objeknya hanyalah berjihad menghadapi orang kafir dan munafik sebagaimana disebutkan Al-Quran surat At-Taubah ayat 73 dan At-Tahrim ayat 9. Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat.

 

Tetapi ini tidak berarti bahwa hanya kedua objek itu yang harus dihadapi dengan jihad, karena dalam ayat-ayat lain disebutkan musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia kedalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia sendiri. Keduanya pun harus dihadapi dengan perjuangan. Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqarah : 168).

 

Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak hati. Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya, tanpa petunjuk dari Allah? (QS Al-Qashash : 50). 

Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya: Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS Yusuf : 53).

Jelaslah, paling tidak jihad harus dilaksanakan menghadapi orang-orang  kafir, munafik, setan dan hawa nafsu.

 

 Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika manusia tergoda oleh setan, ia menjadi kafir, munafik dan  menderita penyakit-penyakit hati, atau bahkan pada akhirnya manusia itu sendiri itu sendiri menjadi setan. Sementara setan sering didefinisikan sebagai "manusia atau jin yang durhaka kepada Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan."

 

Menghadapi mereka tentunya tidak selalu harus melalui peperangan atau kekuatan fisik. Tapi pada saat yang sama perlu diingat bahwa hal ini sama sekali bukan berarti bahwa jihad fisik tidak diperlukan lagi. Agar lebih jelasnya disini penulis akan  membagi beberapa macam jihad:

 

1.   Fardlu 'Ain; yaitu berjuang melawan musuh yang menyerbu ke sebagian negara kaum muslim seperti jihad melawan kaum Yahudi yang menduduki negara Palestina. Semua orang muslim yang mampu berdosa sampai mereka dapat mengeluarkan orang-orang Yahudi dari negeri tersebut.

 

2.   Fardlu Kifayah; yaitu jika sebagian telah memperjuangkannya, maka yang lain sudah tidak berkewajiban untuk melakukan perjuangan tersebut, yaitu berjuang menyebarkan dakwah Islam ke seluruh negara sehingga melaksanakan hukum Islam, dan barangsiapa yang masuk Islam serta berjalan di jalan Islam kemudian terbunuh sehingga tegak kalimat Allah, maka jihad ini berjalan terus sampai hari kiamat. Jika orang-orang meninggalkan jihad dan tertarik oleh kehidupan dunia, pertanian dan perdagangan maka ia akan tertimpa kehinaan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Jika anda jual beli inah (seseorang jual sesuatu dengan bayaran akhir dan menyerahkannya kembali dari sipembeli tersebut, sebelum lurus pembayarannya dengan harga yang lebih murah dan dibayar langsung), kamu ambil ekor-ekor sapi, dan dan kamu puas dengan pertanian kemudian kamu tinggalkan jihad dijalan Allah, maka Allah meliputi dengan kehinaan dan tidak akan melepaskannya darimu sehingga kamu kembali kepada agamamu" (HR. Ahmad).

 

3.  Jihad terhadap pemimpin Islam; yaitu dengan memberikan nasihat kepada mereka dan pembantu mereka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Agama adalah nasihat, kami bertanya , untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang muslim awam" (HR. Muslim). Dan beliau bersabda: "Jihad yang paling mulia adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zalim" (HR. Abu Daud dan Tarmizi). Adapu cara untuk menghindarkan diri dari penganiayaan pemimpin kita sendiri, yaitu agar orang-orang Islam bertaubat kepada Tuhan, meluruskan akidah mereka atas dasar ajaran-ajaran Islam yang benar sebagai pelaksanaan dari firman Allah: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS Ar-'Ad : 11).

 

4.  Berjihad melawan orang kafir, komunis dan penyerang dari kaum ahli kitab, baik dengan harta benda, jiwa dan lisan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Dan berjihadlah menghadapi orang-orang musyrik dengan harta bendamu, jiwamu dan lisanmu" (HR. Ahmad).

 

5.  Berjihad melawan orang-orang fasik dan pelaku maksiat dengan tangan dan hati, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan  lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim).

 

6.   Berjihad melawan setan; dengan selalu menentang segala kemauannya dan tidak mengikuti godaannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah sebagai musuhmu, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala" (QS Faatir : 6).

 

7.   Berjihad melawan hawa nafsu; dengan menghindari hawa nafsu, membawanya kepada ketaatan kepada Allah dengan menghindari kemaksiatan-kemaksiatannya. Allah berfirman melalui mulut Zulaihah yang mengakui telah membujuk Yusuf untuk berbuat dosa: "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Yusuf : 53). 

 

Ada sebuah syair menuturkan: "Musuh besarmu nafsu dan setan, bujuk-rayunya jangan kau hiraukan, tutur-nasihatnya penuh kesesatan, i'tikad baiknya mesti kau ragukan."

[ ke halaman selanjutnya ]  

 

 

home

 

 

 

[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

© Himpunan Mahasiswa Medan Mesir 2002

     Silakan menyalin atau mengutip isi atau sebagian dengan mencantumkan sumber HMM Online

Kirim artikel/saran/kritikan 

Kontak Webmaster