[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|
|||||
Muhasabah
Kita lalai untuk muhasabah diri disetiap penghujung aktifitas kita, tapi kita tidak pernah lupa dengan catatan keuangan dan diary kita. Menghitung untuk dunia tidak salah, bahkan dianjurkan sebagaimana ada dalam hadist yang menceritakan tentang keadaan dunia sebagai ladang dan wasilah untuk menuju akhirat. Namun alangkah indahnya jika kita dapat menyeimbangkan keduanya. Menghitung untuk dunia dibarengi dengan menghitung untuk akhirat. Muhasabah diri itu penting dan bermanfaat sebagaimana sebuah kajian (penelitian) mengemukakan bahwa muhasabah dapat meningkatkan tingkat kecerdasan seseorang karena proses mengembalikan memori selama satu hari apalagi dilakukan secara terus menerus. Dipercayai dapat melatih dan merangsang kerja saraf-saraf otak disamping ada kelebihan lain yang dimiliki oleh muhasabah itu sendiri. Namun yang ingin saya tekankan disini bukanlah sekedar muhasabahnya, tapi efek dari muhasabah itu sendiri, seperti layaknya ketika kita melihat catatan keuangan, betapa kita menyesal karena banyak sekali ternyata barang yang tidak layak dibeli dan tidak begitu dibutuhkan masuk dalam rekening. Begitu juga halnya manakala memeriksa jadwal harian tidak semua pekerjaan dan aktifitas terlaksana sebagaimana yang dikehendaki disebabkan kurang menghargai waktu dan tidak konsisten dengan jadwal yang telah disusun. Maka kita pun akan terperanjat jika melihat dua kolom yang telah kita isi dengan amal kebaikan dan amal buruk tersebut. Betapa amal-amal buruk mempunyai catatan paling banyak dan panjang dalam daftar amalan-amalan kita, sehingga timbul pertanyaan dalam diri kita, "Ya Allah layakkah aku menjadi hamba-Mu yang taat atau hamba-Mu yang selalu berbuat maksiat ? manakala kita sudah jarang bahkan absen menghubungi orang tua kita baik itu melalui surat, email, telepon dan lain-lain sehingga menimbulkan kegundahan hati mereka, atau ketika kita lebih senang membicarakan keburukan teman dibanding berdzikir atau membaca Al Quran. Dan ingatkah kita ketika berjam-jam nongkrong diwarnet begitu sangat singkat jika dibanding bila menziarahi teman yang sakit, atau ditimpa musibah, merangkai kata-kata yang indah dalam doa begitu sulit dibanding merangkai untaian kata-kata manis untuk orang yang tersayang, atau apakah masih ada dendam dalam hati pada teman, karena masih terbayang perbuatan kasarnya pada kita, piket masak yang seharusnya dikerjakan terabaikan dan kita secara terpaksa menggantikannya. Kesemua itu mampukah kita menghitungnya sebagai amal baik ? dan ketika kita sadari bahwa semuanya adalah amal buruk, tergerakkah hati kita untuk mengintropeksi diri dan coba untuk memperbaikinya. Jika seseorang telah mampu mengintropeksi dirinya sendiri, maka secara tidak langsung dia telah menyerahkan diri dan hatinya kepada Allah untuk dididik, karena dia merasa dirinya hanyalah makhluk lemah yang tiada daya apa-apa, hanya Allah saja yang maha kuasa. Tapi jika yang terjadi malah sebaliknya, tidak ada intropeksi diri, merasa tidak pernah berdosa walau dosa lintasan hati, maka orang yang seperti ini perlu diragukan keimanannya, karena kesombongan dan kecongkakan hatinya yang membuatnya jauh dari hidayah Tuhan. Ada satu kisah yang dapat diambil hikmahnya tentang seorang tabi'in bernama Sufyan Ats-Tsaury, pada suatu ketika dia berkata: "aku duduk sambil menghitung dosa-dosaku, memperhatikan manusia dengan kepentingan-kepentingan mereka terhadap masa depan. Masa depan bukanlah anak-anak, istri ataupun harta benda. Masa depan tak lain adalah surga atau neraka." Beliau menyambung: "ketika aku duduk dan menghitung dosa-dosaku, kudapati dosa-dosaku mencapai dua puluh satu ribu dosa", padahal kita tahu beliau seorang tabi'in yang wara'. Kemudian beliau berkata kepada dirinya sendiri: "Wahai Sufyan, apakah engkau akan menghadap Rabbmu dengan dosa yang dua puluh satu ribu itu dan Rabbmu akan mempertanyakan setiap satu diseluruh dosa-dosamu". Beliau yang tabi'in, seorang saleh, masih memiliki waktu untuk mengintropeksi diri, lalu bagaimanakah dengan diri kita ??? Sebelum saya mengakhiri tulisan singkat ini, saya ingin mengajak diri saya dan sahabat-sahabat sekalian untuk merenungi perkataan Sayyidina Umar: "hâsibû qobla an tuhâsabû" (Intropeksilah diri kamu sebelum kamu di hisab di akhirat) yang mengingatkan kepada kita semua, selagi Allah swt mengizinkan udara-Nya untuk kita hirup selagi hidup, selagi pintu taubat belum tertutup, tidak ada kata terlambat untuk kembali kedalam bimbingan Allah Rabbul Izzati. Isilah hari-hari dengan muhasabah, perbaikilah isi hati yang porak poranda itu dengan harapan terbesar bahwa kita akan bertemu dan menghadap Allah dengan hati yang suci dan bersih jauh dari sifat-sifat tercela pada saat kita dibangkitkan kelak, pada saat tidak berguna apa-apa melainkan amal perbuatan kita. Semoga...
______________________________________ Dimuat
dibuletin Generasi HMM Edisi IV Thn I Jumadil Akhir– Rajab 1423 H /
September - Oktober 2002 M
home |
|
||||
[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|