[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

>>>Dakwah As-Safiir

 

GHADDUL BASHAR
(Menundukkan Pandangan Mata Dari Yang Diharamkan)
oleh M. Ridwan Syahdan


Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadis yang derajadnya hasan dari Buraidah,bahwasanya Rasulullah Saw. kepada Imam Ali bersabda: "Wahai Ali ! Janganlah engkau turutkan pandangan matamu itu ! Adapun pandangan matamu yang pertama itu tiadalah mengapa hukumnya, sedangkan pandangan berikutnya haram hukumnya". 
Sering kita dapati dikalangan kawula muda-mudi Islam yang keliru ataupun menganggap enteng terhadap isi dan kandungan hadis tersebut yang semestinya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Letak titik kesalahan tersebut ialah pada potongan hadis diatas yang maknanya: "... adapaun pandangan matamu yang pertama itu tiadalah mengapa hukumnya, ..." sehingga diantara kawula remaja kita masih membenarkan dirinya untuk menikmati dan mengikuti rayuan serta bujukan nafsunya untuk terus secara seksama menyaksikan sesuatu yang terlintas di depan matanya saat pandangan mata yang pertama kalinya, padahal itu termasuk yang dilarang agama, seperti melihat kepada kecantikan dan kemolekan wanita. 

Ada pula di antara kita yang menganggap enteng akan peringatan hadis tersebut dengan berdalih bahwa pada pandangan pertama itu selama mata belum berkedip,sehingga jika nampak sesuatu yang dilarang agama untuk melihatnya, ia berucap: yah! selagi mata belum berkedip, jika berkedip maka sudah termasuk dalam zone pandangan kedua yang nyata-nyata dilarang. 

Untuk memahami hadist ini dengan benar dan tepat, sehingga tidak dengan nafsu dan sekehendak hati kita dalam memahaminya, marilah kita lihat penjelasan Ibnu el Jauzi dalam memahami potongan hadist tersebut: “Kiranya orang menganggap bahwa seseorang itu boleh menikmati dan mengikutkan hawa nafsunya saat bola matanya melihat aurat lawan jenisnya yang begitu mengguncangkan hatinya pada pandangan matanya yang pertama dengan memelototinya tanpa berkedip mata sedikitpun. 

 

Sesungguhnya bukan begitu yang dimaksudkan oleh hadist tersebut. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah pandangan mata yang pertama yang tidak disengaja. Hal ini diperkuat lagi oleh sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah ra. berkata: Saya menanyakan kepada baginda Rasul tentang pandangan yang secara tiba-tiba (tak disengaja), Rasulpun menjawab: "Palingkanlah pandangan matamu itu!". Ibnu Jauzi menambahkan lagi: Inilah yang sebenarnya, pada pandangan mata yang pertama itu sesungguhnya tidak disertai dengan keinginan serta kehendak hati, belum sempat menghayati pandangan yang dilarang tersebut, tidak pula merasakan kelezatan nafsu. Manakala dalam pandangan pertama itu sudah merasakan kelezatan syahwat, maka itu sudah masuk dalam zona yang dilarang syariat dan dikategorikan pula ke dalam hukum pandangan yang kedua yang hukumnya nyata keharamannya”.
Allah Swt Berfirman: “Katakanlah kepada kaum lelaki yang beriman: Hendaklah mereka menahan (sebagian dari) pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah pula kepada kaum wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan (sebagian dari) pandangannya dan memelihara kemaluannya, …” (QS An Nur: 30-31) 

Sehubungan dengan ayat ini, Imam al Muhaqqiq Ibnu al Qayyim dalam bukunya “Raudlah al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin” menjelaskan: Menahan atau memalingkan pandangan mata itu (ghaddul bashar) adalah pangkal dari penjagaan menuju keselamatan diri dan kemurnian pribadi seseorang dari ganasnya lingkaran seks dan kebutuhan biologis manusia, maka Allah Swt terlebih dahulu menyebutkan perintah-Nya untuk ghaddul bashar dalam firman-Nya itu sebelum menyebutkan perintah-Nya untuk menjaga kemaluan seorang hamba. Dan ketika pengharaman tersebut dimulai dari mediatornya (dalam hal ini mata) maka mediator tersebut boleh dipakai untuk hal-hal dan kepentingan yang dirasakan perlu. Jadi yang dianjurkan ayat tersebut ialah untuk menjaga sebagian pandangan,bukan semua pandangan, sebab mata adalah organ manusia untuk melihat. Tidaklah benar jika organ tersebut ditutup dan dihilangkan fungsinya. Hanya sebagian dari pandangan saja yang dapat mengganggu dan merusakkan ketentraman jiwa manusia itu yang harus ditahan, dan ini sifanya insidentil dan terbatas, artinya jika pandangan itu secara tiba-tiba saja muncul di hadapan kita dan tidak disengaja. Adapun perintah untuk menjaga kemaluan adalah perintah yang secara mutlak dan menyeluruh.

Allah Swt telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Jika seorang mukmin itu menundukkan pandangannya maka sesungguhnya hatinya telah menaklukkan nafsu dan kehendak syahwatnya yang bergejolak. Jika saja ia menurutkan kehendak syahwat matanya maka hatinyapun sesungguhnya telah pula membukakan pintu syahwat baginya. Ibnu Jauzi dalam kitabnya Adabun Nisa’ menjelaskan: “Ketahuilah bahwa di antara sebab yang membuat seseorang itu selalu saja merasakan hatinya terpaut pada lawan jenisnya dan keinginan untuk dekat dengannya adalah karena terlalu menurutkan selera dan hawa nafsu pandangan matanya. Hal ini sama saja kejadiannya, baik dikalangan pria maupun wanita, maka hendaklah hal ini disadari dan berwaspadalah !” 

Kebanyakan maksiat itu muncul dari pembicaraan yang tidak berfaidah, alias banyak omong dan dari jiwa yang selalu menurutkan selera dan nafsu pandangan matanya. Banyak omong dan terlalu mengikutkan selera mata, dua lahan inilah yang menjadi sasaran empuk bagi setan dan pengikutnya untuk menjerumuskan manusia ke dalam lembah dosa dan maksiat. Jika kedua hal ini selalu saja diturutkan maka tiada akan lega dan habis-habisnya. 

Berbeda dengan perut, jika sudah diisi penuh dengan santapan makanan dan minuman yang bergizi dan menyenangkan maka tidak akan ada keinginan lagi pada waktu itu untuk mengisinya. Sedangkan mata dan lidah itu lain, keduanya tidakkan pernah mengenal kata puas dari melihat dan berbicara. Sebagaiman hal ini disinyalir dalam sebuah untaian kata mutiara yang berbunyi: Ada empat hal yang takkan pernah merasa puas dari empat macam, yaitu; mata dari melihat, telinga dari mendengar kabar, bumi akan curahan hujan, dan wanita dari lelaki. Imam al Muhaqqiq Ibnu al Qayyim dalam bukunya Ad-Da’wad Dawa’ ada mengatakan: “Memandang itu membuka pintu syahwat dan menjadi medianya, menjaga pandangan adalah asas dari penjagaan dan pengawasan terhadap kesucian diri (faraj). 

Siapa saja yang mengikutkan nafsu pandangan matanya berarti disadari ataupun tidak ia telah menempatkan dirinya ke pinggir jurang kenistaan”. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah olehmu dari duduk-duduk di pinggir jalan raya”. Para Sahabat menjawab: Wahai baginda Rasul, di sini di pinggir jalan ini adalah tempat dimana kami biasanya duduk berkumpul. Melihat hal ini Rasulullah Saw pun bersabda: “Jika kamu sekalian bersikeras untuk tetap duduk di pinggir jalan ini, maka hendaklah kamu sekalian menjaga adad-adabnya. Merekapun bertanya: Apakah adab-adabnya? Rasul menjawab: Menahan pandangan mata (ghaddul bashar), mencegah kemungkaran, dan menjawab salam.” 

Dari hadist ini kita dapat mengambil satu pelajaran penting dimana Islam memberikan aturan main bagi siapa saja yang duduk-duduk di jalan, dimana orang sering lalu-lalang, hal ini selalu saja memberikan pemandangan yang beraneka-ragam yang tentunya dapat mengganggu stabilitas kenyamanan dan ketentraman jiwa. Tidak hanya di jalan-jalan, di taman juga misalnya, di pasar dan di tempat-tempat keramaian lainnya yang juga diharuskan untuk menjaga pandangan mata dari yang dilarang agama. 

Islam tidak melarang sesuatu kecuali untuk kepentingan dan kebaikan bagi umatnya. Demikian pula halnya dengan perintah. Islam tidak memerintahkan sesuatu melainkan untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi ummatnya pula. Menahan pandangan mata dari hal-hal yang diharamkan agama merupakan bukti kongkrit keimanan kita dengan mengaplikasikan “muraqabah” (pengawasan) terhadap diri kita sendiri dimana Allah Swt Maha Mengetahui segala gerak-gerik kita, baik di saat keramaian maupun di kala sepi. 

Adapun di antara fadlilat serta keuntungan bagi orang-orang yang dapat menundukkan pandangan matanya adalah mendapat ketenangan hati dari segala yang membuatnya gundah, resah, dan berduka. Hati akan dapat khusyu’ berhadapan dengan Allah Swt. Hati akan selalu merasakan pertalian dengan Rabbul ‘Alamin. Hati akan selalu mengingat-Nya. 

Hati yang tidak nyaman, hati yang dilanda keresahan, hati yang merasakan kekacauan akan berakibat pada pribadi yang tidak lurus, dekat ke jurang kenistaan, mudah melakukan kesalahan dan kejahatan, sebab hatinya telah membukakan pintu syahwatnya yang tiada pernah berhenti bergejolak. Orang yang dapat menundukkan pandangan matanya, maka hatinya akan mantap, terjauh dari jurang kemungkaran, lahirnya kepribadian yang lurus, mudah menerima kebenaran dan mudah pula untuk melaksanakannya. 

Mari kita rasakan diri kita, jika kita masih menunda-nunda untuk menerima kebenaran dan bermalas-malasan untuk mengamalkannya, maka itu merupakan suatu isyarat bahwa hati ini belum mantap. Hati yang kurang bersih, hati yang kurang mantap dikarenakan masih jauh dari mengingat Allah (dzikrullah). Kondisi seperti ini tidaklah jauh dari kemungkinan belum mantapnya kita dalam mengamalkan ghaddul bashar dalam kehidupan kita. 

Semoga Allah menolong kita dalam mengamalkan perintah-Nya untuk menahan pandangan mata kita dari yang tidak dibenarkan-Nya. Yakinlah ! Itu untuk kemaslahatan dan kebaikan kita menuju surga-Nya. Semoga kita dapat meraih ridla-Nya. Amin Allahumma Amin.

_____________________________________

Dimuat dilembaran Dakwah Jum'at As-Safiir HMM , Jum'at 8 Muharram 1423H/22 Maret 2002M

 

 

home

 

 

 

[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

© Himpunan Mahasiswa Medan Mesir 2002

     Silakan menyalin atau mengutip isi atau sebagian dengan mencantumkan sumber HMM Online

Kirim artikel/saran/kritikan 

Kontak Webmaster