[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

>>>Artikel

 

INDONESIAKU, SAYANG
Oleh Harmeniko

 

Indonesia, negara nun jauh di pinggiran belahan dunia, terbentang di permukaannya sekitar 13.000 pulau yang diduduki berbagai macam ras, suku, agama dan ragam bentuk tubuh manusia. Membentuk sebuah kesatuan yang besar dan tatanan kehidupan yang plural. Mengembangkan sayapnya semenjak 57 tahun silam, dengan perkembangan yang begitu pesat walau terkesan lambat dengan negara seumurnya, namun dengan keadaan seperti ini, ia termasuk negara yang dipertimbangkan bagi negara-negara dunia, bukan karena apa-apa, tapi banyak diincar karena sebagai lahan basah bagi para bisnissman untuk meraup keuntungan dari si bodoh Indonesia, karena di dalamnya banyak tersimpan kadar dollar yang menggiurkan mata yang mulai menghijau. Banyak yang memperhatikanmu dari golongan manapun, mencurahkan perhatiannya hanya untuk mempertahankan sebuah negara bernama Indonesia.

Indonesia, sebuah bangsa yang tak begitu saja terbentuk bak membalikkan sebuah telapak tangan, dengan darah dan nyawa, sebuah negara antah berantah itu terbentuk. Walau terkadang pemuda Indonesia kini, sulit merasa bahwa mereka dilahirkan dengan keadaan merdeka. Bebas menangis dan tertawa tanpa suara dentingan peluru menyeruak masuk ke telinga.

Berbagai macam fase kehidupan dihadapi oleh sang negara, dari zaman penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang. Yang konon terjajah selama tiga setengah abad lamanya, walau yang dijajah selama itu adalah pulau Jawa saja, namun seluruh lapisan daerah mangakui mereka terjajah selama kurun waktu tersebut. Dan memang, yang namanya terjajah tak ada sejarah mengatakan itu merupakan sebuah kenikmatan tiada tara. Siapapun orangnya, takkan sudi jika dijajah, hancur berkeping-keping hati ini rasanya. Melebur menjadi sebuah dendam kesumat dibawa mati.

Tapi kini, kita hanya bisa mendengarkan ocehan orang-orang pendahulu yang senantiasa selalu menceritakan Indonesia pada masa perang zaman dahulu kepada anak dan cucu, menuang kisah menumbuhkan cinta kepada bangsa, agar sang anak selalu tahu akan arti sebuah kemerdekaan. Dan sepertinya sang anak hanya diam dan terpaku menatap apa yang akan dilakukan jika memandang negara ini. Dia hanya menatap sedih dan duka, dengan mata dan kepala menyaksikan nyawa berjatuhan di mana-mana, mengeluarkan sebuah pertanyaan "apakah kini kita sudah merdeka?".

Ternyata, semenjak reformasi, kebebasan telah merongrong kita semua untuk bisa bebas berbuat apa saja, ketahanan amarah massa yang selama ini terpendam mencuat seperti ember penuh akan siraman air yang ditampungnya, melimpah ruah entah ke mana-mana, melahap setiap insan yang ada tanpa memandang bulu dan suku. Amarah sudah tak teredamkan lagi, rakyat sudah marah, api bekobar membakar setiap atap rumah rakyat, mengeluarkan asap membubung tinggi ke atas langit-langit kehancuran.

Sebelum menjabat Presiden, Megawati pernah berkata: "Sekarang ini saya tidak mengusir penjajah seperti ayah saya, namun sekarang yang saya hadapi adalah rakyat saya sendiri, kita telah terjajah oleh bangsa sendiri." Dan sepertinya benar juga yang dikatakan orang nomor satu Indonesia ini, Indonesia telah terjajah oleh bangsa sendiri. Terlihat pemerintah memeras rakyat, ABRI membantai rakyat, rakyat saling jotos demi mengisi sejengkal organ tubuh di atas pusar. Rakyat sudah bosan, negara dianggap musuh. Dan rakyat tak mau tahu, yang penting aku bisa senang dan tenang, anakku bisa sekolah dan tentram, siapa peduli, siapa mau tahu, itu urusan mereka, jika dirugikan sikat sampai mati, habisi saja.

Krisis bukan saja melanda bidang ekonomi, namun yang lebih parah adalah sebuah krisis kepercayaan, masyarakat tak lagi percaya kepada pemerintah, tak lagi memandang pemerintah benar mengurusi rakyat. Masyarakat tak lagi mempercayai nilai-nilai manusia, membabi buta seenaknya saja menghabisi sebuah nyawa. Ke mana lagi negara ini akan diarahkan. Yang mampu hanya bisa undur diri, diam melipat kedua tangan dan takut dikritik massa jika sampai tak becus nantinya mengurusi negara, akhirnya yang berkuasa adalah sebuah kezaliman. Karena Ratu Adil yang ditunggu tak juga kunjung tiba. Nah kalau begitu?

Kebodohan menjadi sebuah penyakit turun temurun. Yang pintar selalu membodohi yang bodoh, dan yang pintar akan semakin pintar dan bodoh akan semakin bodoh, itulah Indonesia. Sampai-sampai mantan Presiden keempat Gus Dur, pernah berkata dalam sebuah debat kandidat yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta, "Saya yakin jadi Presiden, karena penduduk Indonesia hanya sedikit yang pintar, yang lainnya bisa dibodoh-bodohi." Sekali lagi, argumen seperti ini terkadang betul juga, bisa dibayangkan berapa persen rakyat Indonesia yang bisa membaca, berapa persen yang mampu membeli dan menyempatkan membeli sebuah koran atau majalah berita mingguan, berapa banyak jumlah rakyat yang mau peduli saluran berita televisi. Sepertinya bisa dikalkulasikan, rata-rata penduduk Indonesia tidak mengetahui kejadian yang ada di dalam negara.
Maka timbullah sebuah keberuntungan dari sebuah kepentingan kelompok yang menginginkan kehancuran negara ini. Maka, bisa direnungkan apa yang disampaikan oleh Slank dalam sebuah lirik lagunya "Kalau aku punya pabrik senjata, akan aku ubah menjadi pabrik tahu".
 
________________________________________________________

Dimuat di buletin Generasi HMM Edisi V Thn I Sya`ban - Ramadhan 1423 H / Oktober - Nopember 2002 M.

 

 

home

 

 

[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

© Himpunan Mahasiswa Medan Mesir 2002

     Silakan menyalin atau mengutip isi atau sebagian dengan mencantumkan sumber HMM Online

Kirim artikel/saran/kritikan 

Kontak Webmaster