[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

>>>Artikel

 

RONA MERAH DI SENJA HARI
“Sebuah catatan pinggir”
oleh Adi Wijaya P. Siregar



Tak terkira lagi saat ini jumlah pengangguran yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, Medan khususnya. Pandangan mata penuh iba merupakan santapan seharian setiap harinya. Anak-anak tak berpendidikan berkerumun di pasaran dan yang lebih tragis lagi pekerjaan yang tak halal menjadi kebiasaan, demi sesuap nasi!. Pemandangan ini terlihat setiap waktu, mulai terbitnya matahari di ufuk timur, tenggelam di ufuk barat dan kembali terbit keesokannya, entah sampai berapa lama keadaan ini berulang. 

Kondisi ini sangat kontras sekali bila kita bandingkan dengan pejabat berdasi dengan mobil hantaran dan rumah mewah. Suara rakyat mereka jual hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pada awalnya angin reformasi yang dihembuskan, sempat membuat rakyat sedikit lega, tapi lagi-lagi mereka terpaksa mengurut dada ketika harapan itu sirna. Pada akhirnya semua orang seakan bertanya, konsep manakah--sebagai jalan keluar--yang bisa diterapkan pada masa seperti ini. 

 

Pada kesempatan ini penulis ingin sedikit mengulas usaha Nabi Muhammad saw dalam membentuk dan membangun masyarakat religius. Dalam literatur sejarah, kita dapati eksistensi Nabi di tengah umat Islam Madinah. Moment ini dinilai sebagai titik tolak terbitnya peradaban baru. Di samping membangun fisik sebuah negara, Rasulullah saw juga menaruh perhatian besar terhadap pertumbuhan mental masyarakat di waktu itu. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah bersabda: "Perumpamaan mukmin itu bagaikan sebuah bangunan, yang setiap bagiannya saling memperkokoh". Kemudian: "Janganlah saling membenci, hasad dan berbuat makar serta jadilah hamba Allah yang saling mengasihi. Dan janganlah seorang muslim memutuskan persaudaraan lebih dari tiga hari". Di lain waktu Rasulullah juga bersabda, "Tidak dikatakan beriman seseorang, sehingga ia memperlakukan saudaranya sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri". Dan masih banyak lagi himbauan yang disampaikan sebagai upaya membentuk masyarakat yang berprikemanusiaan dan beradab. Nilai etika merupakan prioritas utama yang ditanamkan Rasulullah agar jiwa persatuan dan solidaritas menjadi dasar interaksi sosial di antara masyarakat. 

Beberapa waktu terakhir ini berkembang isu pemekaran beberapa daerah--dengan tujuan dan arah yang tidak jelas ujung tanduknya--di tanah air. Walaupun statusnya yang kontroversial, namun dalam literatur sejarah Islam kita dapati kondisi yang berbanding terbalik. Begitu juga bila kita melihat upaya kemerdekaan republik Indonesia. Dengan bersusah payah, keringat dan darah menjadi taruhan persatuan. Seharusnya, kita sudah berpikir untuk merekontruksi sistem ekonomi sosial, bukan malah mendikotomi nilai majemuk yang ada. Kalau hal ini tidak diantisipasi sedini mungkin, tidak menutup kemungkinan akan terus muncul golongan baru yang mengangkat slogan sekte lainnya. Khalil gibran pernah berkata, "Sangat sedih nasib suatu bangsa yang terpecah, kemudian setiap bagian mengaku sebagai negara". Baru-baru ini seorang dai besar Indonesia juga mengatakan, "Tak ada gunanya negara dengan daerah wisata luas begini, bila pemimpinnya dzolim". Tentu akan masih sangat banyak lagi diskursus yang bisa kita jadikan referensi dalam frame di atas. Yang penting bagaimana kita bisa sepakat untuk memulai kembali membangun, dalam rangka maslahat bersama. Semoga mentari keadilan masih bersinar di esok hari, amin.

 

________________________________________________________

Dimuat di buletin Generasi HMM Edisi III Jumadil 'Ula 1423 H./Juli - Agustus 2002 M.

 

 

 

home

 

 

 

[ Halaman muka ]      [ Tentang kami ]      [  Email kami ]     [ Buku tamu ]     [ Arsip ]

© Himpunan Mahasiswa Medan Mesir 2002

     Silakan menyalin atau mengutip isi atau sebagian dengan mencantumkan sumber HMM Online

Kirim artikel/saran/kritikan 

Kontak Webmaster