[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|
|||||
Menyikapi Perubahan
AD/ART HMM
Kendati pun ada manusia yang menjadi penonton didepan pentas kehidupan, pasti tidak luput dari pengaruhnya. Begitulah hikmah yang dipetik orang-orang bijak untuk menggambarkan kehidupan dialam fana ini. Persoalan demi persoalan datang silih berganti dan terus berputar seiring dengan perputaran bumi. Seluruh manusia dibumi akan mengalaminya tanpa terkecuali, sekalipun utusan Tuhan. Akan tetapi disana ada perbedaan ataupun tingkatan permasalahan yang akan dialami oleh manusia dan telah disesuaikan dengan kemampuannya. Allah berfirman: Dengan postulasi diatas, Indonesia bisa dijadikan contoh yang konkret. Negara yang pernah dijuluki sebagai 'macan asia' berubah menjadi 'tikus asia'. Berbagai masalah bermunculan, baik disektor sosial-ekonomi, politik, militer dan lain-lain. Fenomena ini akan terus berlanjut dan berkembang sampai Indonesia menemukan jati dirinya sebagai Negara Demokrasi Modern. Akan tetapi ditengah-tengah perkembangan itu, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin dan intelektual yang memiliki nasionalisme yang tinggi, berfikir jernih dan jauh dari kepentingan pribadi. Bukan nasionalisme yang direkayasa oleh elite yang berkolusi dengan bisnis manja, yang mengandalkan proteksi neomerkantilis tidak terkontrol, hanya menghasilkan kekuatan nasional yang keropos dari segi ekonomi dan lemah dalam struktur politik. Himpunan Mahasiswa Medan (HMM) sebagai perwujudan dari kebutuhan masyarakat Medan di Mesir sebagai wadah untuk berorganisasi dan bersilaturahmi, juga tengah menghadapi masalah. Struktur organisasi, substansi AD/ART, egalitarianisme, temus menjadi sasaran pertikaian yang empuk dan polemik yang berkepanjangan. Pro dan kontra pun tak bisa dihindarkan. Suara anggota menjadi ajang perebutan untuk memperluas peta kekuatan, almamater menjadi kekuatan baru dalam tubuh HMM. Akibatnya, sulit untuk membedakan ke-HMM-an dan kealmamateran. Banyak lagi masalah yang menjamur di HMM yang harus mendapat penanganan yang serius. Ditengah perkembangan HMM menuju pintu gerbang Demokrasi Modern, HMM sangat membutuhkan pimpinan dan intelektual yang memiliki "sense of belonging" murni sebagaimana Indonesia membutuhkan sosok nasionalisme murni, jauh dari kepentingan pribadi maupun golongan. Persoalan menarik untuk diangkat adalah masalah AD/ART. Baru-baru ini tepatnya pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2002 AD/ART HMM sudah diamandemenkan. Pengamandemenan AD/ART adalah perwujudan dari amanat SPA yang diselenggarakan pada periode 2001-2002 dan perwujudan Demokrasi Modern yang berideologi "Rakyat diatas kekuatan dan rakyat diatas penguasa". Hal ini juga mencerminkan ketidakotoriteran penguasa -dalam hal ini Dewan- dan keputusan sepihak sebagaimana opini yang berkembang. Walaupun masih ada nilai-nilai yang dipertahankan dalam AD/ART, bukan berarti Demokrasi tidak ada, contohnya rapat Dewan HMM adalah lembaga tertinggi penentu kebijaksaan Organisasi Himpunan Mahasiswa Medan (lih. ART, Bab V : Permusyawaratan, pasal 12), contoh lain adalah stuktur HMM yang memposisikan Dewan diatas (lih. AD, Bab V : Struktur Organisasi). Keputusan ini bukan tidak beralasan dan bukan pula mencerminkan "otoriterisme birokratik", seperti yang dikatakan Dwight V. King untuk menggambarkan politik Indonesia awal Orde Baru. Akan tetapi hasil dari rekaman sejarah (presiden histories) HMM yang diwarnai oleh perebutan kekuasaan antara kubu liberalis demokratis dan kaum fundamentalis politik adalah salah satu sebab timbulnya aturan diatas.
Artinya, saat pembentukan AD/ART semacam ada perebutan kekuasaan, Demokrasi di HMM bukan karena desakan masyarakat HMM. Demokasi diberikan oleh "atas". Misalnya, keterbukaan dan kebebasan, dan bukan didorong oleh masyarakat bawah. Yang terjadi, Dewan melihat apabila masyarakat HMM sudah siap, sudah maju dan terdidik, maka diberikanlah kebebasan itu sedikit demi sedikit. Namun kalau kepentingan HMM (sebagai lembaga yang menganut sistem liberalis-demokratis) terancam atau terganggu, demokrasi itu bisa diambil kembali. Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapankah relevansi teori diatas ? Hanya waktulah yang mungkin bisa menjawabnya.
Jadi tidak betul adanya intervensi kekuasaan ataupun pembajakan suara rakyat di tubuh HMM. Akan tetapi pendewasaan masyarakat HMM yang disesuaikan dengan "khittah" berdirinya HMM tersebut. Untuk membentuk peta kekuatan dan memobilisasi masa ternyata teori "suara rakyat adalah suara Tuhan' tidak bisa dipertahankan. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, karena Tuhan bukanlah rakyat dan rakyat bukanlah perwujudan dari Tuhan. Tidak ada hak seorang manusia pun untuk mengklaim bahwa dirinya adalah perwujudan dari partai Tuhan sedangkan orang lain adalah partai syaitan. Perdana Mentri Ariel Sharon dari Partai Likud, pernah membantai umat Islam di Shabra-Shatila Libanon pada tahun 1982 dan dia pulalah yang mengakibatkan munculnya 'intifadhah' millennium yang menelan korban ratusan penduduk Palestina, juga terpilih oleh rakyat Isrel.
Apakah kita masih mengatakan bahwa suara rakyat Israel adalah manifestasi dari suara Tuhan ? Dalam menyikapi perkembangan HMM, hendaknya elite-elite politik jangan membuat opini yang menyesatkan. Polemik dijauhi sedapat mungkin, konsensus yang sudah diambil dalam AD/ART (yang sudah diamandemenkan) jangan lagi dimentahkan, minimal sebelum berakhirnya periode 2001-2002. marilah kita bekerjasama untuk mewujudkan HMM yang satu dan bersatu.
"If We Hold On Togheter, The Black Clouds will go bye" (bila kita tetap bersama-sama awan gelap itu akan berlalu). Akhirnya kita sebagai kaum intelektual dan pemimpin di HMM yang masih belia dalam ilmu pengetahuan jangan merasa "The Best Of The Best" yang dapat menciptakan "egoisme-intelektual/pemimpin". Hal ini bisa berakibat tidak baik bagi HMM.
______________________________________ Dimuat dibuletin Generasi HMM Edisi IV Thn I Jumadil Akhir– Rajab 1423 H / September - Oktober 2002 M
home
|
|
||||
[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|