[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|
|||||
"Mengkritisi" HMM dengan
Parsonian Theory
Paling tidak ada dua hal yang perlu disinggung berkaitan dengan judul diatas, Pertama adalah daya kritis sebagai titik pusat dinamika, sedangkan yang kedua adalah belajar untuk melihat teori para pakar sosiologi modern, dalam hal ini Parsonian Theory sebagai teori yang hendak "dilirik" karena telah mengalami rentetan analisa setiap zamannya. Kata kritis dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai makna: bersifat tidak lekas percaya atau juga bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Memakai kata tersebut-bagi penulis- dalam judul diatas bukanlah awal langkah menuju sebuah proyek dekonstruksi (al-hadm) dalam kerangka ke-HMM-an dengan tidak mengajukan alternatif solusi, akan tetapi yang diinginkan adalah sebuah rekonstruksi baru untuk menuju sebuah organisasi yang ideal. Dalam sejarah manusia manapun, baik itu revolusi massa dunia, upaya-upaya kemerdekaan bangsa atau reformasi agama,social, ekonomi, budaya adalah bertitik tolak dari sebuah kesadaran untuk mengkritik "wadah"-institusi--, kecil atau besar, nasional atau internasional, kota atau kampung. Daya kritis itu timbul tidak lain hanyalah untuk merespon segala fenomena yang mengalami krisis dan kurang mapan, dalam hal ini sesuatu yang tidak dapat di elakan dalam proses timbulnya "suara" kritis keatas tadi adalah reaksi balik dari status quo dengan usaha untuk meng-counter baik itu berupa tindakan penjegalan, pengisolasian dan lain-lain, hal itu-menurut penulis-adalah hal yang sudah biasa terjadi dalam revolusi atau reformasi dibelahan negara manapun karena dualitas antara kaum dominan dan subordinant-- merupakan dialektika alam yang tak terhindarkan, namun penjegalan terhadap "suara-suara" kritis adalah pemenjaraan idealisme dan kebebasan manusia. Dan hal ini lebih berbahaya dari pemenjaran fisik. Daya kritis harus selalu dihidupkan dan diperhatikan selama ia tidak bersinggungan dengan doktrin-doktrin agama-yang menentukan antara pahala dan dosa-- yang sudah baku. Judul diatas tentang Parsonian Theory adalah teori Talcott Parson (1902-1979) tentang Struktral-Fungsional yang mendapat simpatik dan legitimasi dari beberapa kalangan di Amerika Serikat sampai akhir tahun 60-an setelah perang dunia II (lihat Kilminster R (1991), Structuration theory as aworld-view). Di tilik sejarah teori ini timbul sebagai reaksi balasan terhadap teori social -konflik yang ditawarkan Marxisme. Yang perlu disinggung dalam teori ini dalam kaitannya dengan sebuah kehidupan sosial adalah atas pengakuannya terhadap keberadaan pluralitas. Pluralitas dalam teori ini adalah adalah satu-satunya pijakan utama (almunthalaq) dari adanya struktur masyarakat. Yang berakhir dengan pluralitas dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah system . Misal saja bahwa dalam sebuah organisasi -dalam hal ini HMM-- pasti ada induvidu yang mampu untuk menjadi ketua, sekretaris ,bendahara.Menurut Dr Ratna Megawangi bahwa perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kebutuhan induvidu yang bersangkutan, akan tetapi tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya struktur dan fungsi ini tidak akan terlepas dari pengaruh norma dan nilai-nilai (common values) yang melandasi sistem masyarakat itu (lihat, Membiarkan berbeda hal: 57).Memang Parson dalam meletakkan teo rinya ini berpegang pada prinsip-pripsip dasar yaitu common values. Baginya common values adalah prinsip ataupun kaedah-kaedah yang diterima secara consensus (kesepakatan suara bulat) yang digunakan sebagai pijakan dalam melegetimasi segala tindak perbuatan (action).(lihat, Ian Craib , Modern Social Theory (An-Nadzariyaat Al-Ijtimaiyyah); hal 67, Alamul Ma'rifah Edisi 244). Kalau teori-teori diatas di aplikasikan,-dalam proses tranformasi---pada struktur HMM, maka akan menghasilkan beberapa point seperti: pertama, struktur yang terbentuk adalah berdasarkan atas segmen-segmen yang mewakili pluralitas, Kedua, memposisikan induvidu-induvidu dalam struktur sesuai dengan skill dan kredibelitas (fungsional) masing-masing, Ketiga; consensus digunakan sebagai pijakan dalam melegetimasi segala tindakan- perbuatan social. Dalam HMM consensus ini harus terwujud dalam SPA yang merupakan common values sebagai keputusan tertinggi, dari segala struktur yang ada, dimana SPA adalah merupakan manifestasi dari "yadullah fawqal jamaah". Dalam kerangka ini semua, satu hal yang ingin kita usahakan pada organisasi kita adalah “ Attaghyir min Ajlil Baqa” _________________________________________________________ Dikutip dari buletin Generasi HMM Edisi III Jumadil 'Ula 1423 H./Juli - Agustus 2002 M.
home
|
|
||||
[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|