[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|
|||||
Realitas Adagium Vox Populi , Vox Dei di HMM Oleh Khairun Naim Ide demokrasi dengan adagium mashurnya Vox Populi, Vox Dei ( suara rakyat adalah suara Tuhan ) ternyata tidak hanya menjadi tuntutan dihampir setiap negara , diorganisasi-organisasi massa ,organisasi pelajar , bahkan dikeluarga sekalipun. Lontaran gagasan Gorbachev ini harus diakui telah banyak meruntuhkan sendi-sendi pemerintahan otoriter dimanapun. Baik itu dinegara-negara berhaluan kiri ataupun dinegara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Tidak ketinggalan Indonesia, euphoria demokrasi ternyata telah benar-benar mewarnai masyarakat indonesia setelah lengsernya Suharto dari tampuk kepresidenan. Fenomena ini bukan hanya milik masyarakat Indonesia yang ada ditanah air , imbasnya juga sampai pada masyarakat-masyarakat Indonesia yang ada diluar negeri , mahasiswa Mesir khususnya Himpunan Mahasiswa Medan ( HMM ) termasuk salah satu kelompok mahasiswa yang terhinggap euphoria demokrasi ini. Karenanya harus dimaklumi jika nama seperti Jhon Locke dengan prinsip hak pada " Life ,Liberty and Property atau Abdul Qadim Zailum dengan handicap sistem demokrasi miliknya ( Freedom of Religion , Behaviour , Property and Speech ) sudah bukan nama yang asing ditelinga mereka. Akan tetapi ide demokrasi ternyata tidak sepenuhnya dapat memberikan wind of change positivisme yang religius dan rasional,. Sebab manusia memang tidak dapat diberikan kebebasan sepenuhnya. Seperti diIndonesia dengan dibukanya seluas-luasnya kran demokrasi oleh Habibi ternyata tidak hanya stabilitas politik yang makin runyam, bahkan menjalar disetiap segmen kehidupan. Kapitalisme, dengan Laissez Faire yang diasumsikan mampu menumbuhkan gairah perekonomian masyarakat justru menciptakan berbagai kefasadan. Teori tangan ghaib yang dipercayai Adam Smith mampu menciptakan keseimbangan pasar sama sekali tidak terbukti, demikian pula halnya dengan perilaku seksual yang menjijikkan yang telah menjadi bahagian kehidupan masyarakat barat yang semuanya telah terlegalisasi dengan dan atas nama demokrasi. Setidaknya fenomena aplikasi demokrasi seutuhnya, yang banyak menimbulkan kefasadan, sebagaimana disebutkan diatas disamping pengalaman-pengalaman sejarah telah menjadi barometer bagi Abang-abang kita di dewan HMM juga rekan-rekan di Tim yang telah diamanatkan untuk merevisi kembali dan mengamandemen AD/ART HMM yang tidak menempatkan Rapat Anggota Tahunan ( RAT ) diatas sebagaimana keinginan kawan-kawan. Harus kita sadari bahwa hal ini bukanlah keaiban sebab sebagai organisasi independen kita berhak sepenuhnya menentukan apa dan bagaimana yang terbaik untuk kita, tentunya dengan tetap menjunjung musyawarah dan mufakat. Hal ini juga telah dijelaskan oleh sahabat Syafru El Fauzi pada edisi sebelumnya, bahwa pengmbilan keputusan ini bukanlah tidak beralasan, akan tetapi setelah didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan bersama sebagaimana dapat rekan-rekan baca pada suplemen Buletin Generasi pada edisi sebelumnya. Akan tetapi ada sedikit yang menggelitik saya pada tema Ke HMMan edisi lalu . Disatu sisi melalui jargon " If we hold on together the black clouds will go bye ( bila kita tetap bersama awan gelap itu akan berlalu ) penulis tersebut mengajak kita merapatkan barisan , bahu membahu agar tiada celah bagi awan hitam, tetapi disisi lain ia malah membuka jendela buat awan hitam tersebut, lha…………… Almamater sebenarnya biasa-biasa saja malah diisukan sebagai kekuatan baru yang mengancam stabilitas HMM malah sampai terucap "sulit untuk membedakan antara HMM dan almamater" bukankah hal ini justru akan tambah memicu ego almamaterisme. Perebutan suara anggota yang merupakan hal yang wajar bahkan bahagian penting dalam dinamika organisasi juga telah diubah menjadi aib besar , yang harus selalu diwaspadai bahkan bila perlu dihapuskan, lalu dinamika berorganisasi bagaimanakah yang diinginkan ? sebagai generasi terpelajar seharusnya kita tidak perlu fobia ( takut ) dengan masalah, sebab terkadang masalah malah mendidik kita menjadi lebih dewasa. Sebagaimana setiap penyakit ada obatnya, maka pada setiap masalahpun pasti ada jalan keluarnya. Memang terkadang tidak memuaskan, bahkan mungkin menyakitkan akan tetapi dibalik semua itu pasti ada pelajaran yang dapat kita ambil. Karenanya kekhawatiran terwujudnya adagium Vox Populi Vox Dei ( suara rakyat adalah suara tuhan ) di HMM sebagaimana penulis sampaikan pada edisi sebelumnya, sepeti kekhawatiran akan hujan emas. Sebab masyarakat diHMM masih cinta Islam, cinta musyawarah, dan mufakat. Sementara tujuan inti dari ide demokrasi adalah sekularisme ( pemisahan antara negara dan agama ) karena demokrasilah masyarakat justeru tidak menghendaki Islam. Itulah demokrasi dengan adagium mashurnya Vox Populi Vox Dei ( suara rakyat adalah suara Tuhan ). Walhasil jika rakyat menghendaki, Tuhanpun harus tersingkir. Fenomena ini hanya terjadi dilingkungan awam bukan terpelajar terlebih lagi dilingkungan mahasiswa pelajar agama. HMM adalah himpunan mahasiswa pelajar agama , karenanya kendatipun euphoria demokrasi telah hinggap di HMM tidak perlu dikhawatirkan sebab demokrasi disini bukanlah demokrasi ala Gorbachev , tapi mungkin akan lebih tepat jika dikatakan demokrasi ala Masisir yang masih dan hanya menselaraskan demokrasi pada musyawarah dan mufakat. Wallahu A'lam ________________________________________________________ Dimuat di buletin Generasi HMM Edisi V Thn I Sya`ban - Ramadhan 1423 H / Oktober - Nopember 2002 M.
home
|
|
||||
[ Halaman muka ] [ Tentang kami ] [ Email kami ] [ Buku tamu ] [ Arsip ] |
|||||
|